Menyapa Tambora; Babi Nggak Salah, Manusia yang Bikin Ulah

Hari menuju siang, angin mulai kencang. Saya turun lebih dulu bersama beberapa kawan yang mau diajak sedikit lari. Saya harus lebih cepat sampai camp untuk menyiapkan makan siang tim dan packing, kalau tidak mau turun terlalu malam di jalan pulang. 1 jam 30 menit kemudian rombongan pertama sampai area camp. Tapi, pemandangan yang saya saksikan tidak lagi sama seperti pertama ditinggalkan beberapa jam lalu.

——————–

savana cikasur

Pagi dimulai lebih awal. Pukul 02.00 WITA kami sudah bangun untuk persiapan summit. Suasana pos 3 gunung yang letusannya dua abad lalu menggelapkan dunia itu masi temaram. Hamparan tanah pasir dan bebatuan yang seharian dipanggang matahari sekarang mendingin. Lapisan luar tenda agak basah karena embun. Angin masih cukup bersahabat, langitnya lebih bersahabat. “Kalau camp di pos 3, nanti semua sampah dan bahan makanan digantung di atas pohon sebelum ditinggal summit”, pesan Pak Syaiful, ia adalah orang yang sehari-hari mendata para pendaki yang ingin registrasi. Segera setelah semua tergantung rapih, perut terisi dan secangkir teh, kami berangkat summit menuju puncak Tambora.

Lereng Tambora sendiri dihidupi masyarakat Bima dan Dompu, juga warga transmigran asal pulau Bali dan Lombok. Masyarakat aslinya hampir tak bersisa karena mega erupsi yang memangkas hampir setengah dari tinggi puncaknya, menyisakan kaldera selebar 8 km. Mereka tersebar di tiga kecamatan yaitu di kecamatan Pekat Kabupaten Dompu di sisi selatan, kecamatan Tambora di sisi barat dan Kecamatan Sanggar di sisi timur. Kecamatan Tambora dan Sanggar masuk dalam wilayah administratif kabupaten Bima. Penduduk di wilayah ini bisa dibilang masi sepi jika dibandingkan dengan luas wilayahnya. Di kecamatan pekat tempat pendakian awal kami saja hanya ada 10 desa yang tersebar di tanah seluas 875 km2. Maka gak heran kalau malam di sana, cahaya langit lebih hidup dari pada hiruk pikuk pendaran lampu-lampu desa.

“Bintang jatuh!” adalah teriakan paling menyebalkan selama perjalanan naik. Gimana enggak, kecepatan bicara manusia ditambah kecepatan si pendengar memalingkan muka ke arah telunjuk orang yang teriak cenderung tidak lebih cepat dari pergerakan sang bintang. Alhasil, di momen ketika pesan dari teriakan itu sampai secara utuh ke telinga pendengar, sang bintang jatuh sudah tak lagi searah dengan telunjuk orang yang teriak, yak, sudah hilang. Pendaki pasti paham matematika sederhana ini. Tapi memang, langit Tambora malam itu serupa galeri seni Tuhan. Polusi cahaya yang sering kali jadi penghalang para pengagum bintang jatuh di Jakarta, tidak lagi bisa melakukan itu di gunung yang terbentang di dua kabupaten Nusa Tenggara Barat.

Matahari datang. Sinarnya lebih dulu menyembul dari lereng selatan, menerobos kerumunan awan di atas laut Flores. Pukul 5.30 kami masih di pos 5. Masih sekitar 800 meter lagi untuk melihat sang legenda Doro Api To’i, yang dalam bahasa Bima yang berarti ’gunung api kecil’. Doro Api To’i adalah anak Tambora yang muncul setelah letusan hebat dua abad lalu. Letusan itu memuntahkan 150 miliar kubik mateial vulkanik dan menyapu bersih semua yang ada di lerengnya. Kalau dibandingkan dengan material vulkanis yang dikeluarkan saat letusan Merapi tahun 2010 yaitu sebanyak 150 juta meter kubik, letusan Tambora ini berarti 1000 kali lipat nya. Dari pos 5, puncak bibir kaldera sudah bisa terlihat. Target sampai puncak paling telat jam7 pagi, ternyata molor. Jam 9.30, kami genap sampai puncak.

Hari menuju siang, angin mulai kencang. Saya turun lebih dulu bersama beberapa kawan yang mau diajak sedikit lari. Saya harus lebih cepat sampai camp untuk menyiapkan makan siang tim dan packing, kalau tidak mau turun terlalu malam di jalan pulang. 1 jam 30 menit kemudian kami sampai area camp. Tapi pemandangan yang saya saksikan, tidak sama lagi seperti pertama ditinggalkan beberapa jam lalu.

Dua tenda robek. Keril yang semula di dalam tenda, berhamburan keluar tenda. Ada satu keril yang jaraknya hampir 20 meter dari tenda, di dalam semak-semak. Satu tenda di sebelah kami milik grup lain roboh rata dengan tanah. Kami sudah tau tersangkanya, sebelum ada tim lain yang telat summit bilang tadi pagi ada…. BABI!

Menurut warga di basecamp, munculnya babi di pos 3 berawal dari satu acara pendakian massal tahun 2015. Pendakian massal itu meninggalkan banyak sampah sisa-sisa logistik pendaki yang menarik babi datang, hingga kini kawanan babi itu kerap mengunjungi pos 3 untuk mencari makan. Karena itulah muncul himbauan untuk para pendaki agar menyimpan semua sampah dan bahan makanan dengan digantung di atas pohon atau shelter ketika ditinggal summit sebelum dibawa turun ke bawah. Tapi malam itu tidak semua pendaki melakukannya, yang mana berakibat buruk bagi yang lain.

Sebagai hewan yang hanya mengikuti insting alamiah, tak ada gunanya mengutuki babi-babi itu. Kita sebagai manusia yang punya akal, harusnya bisa menjaga keteraturan yang sudah ada di alam. Terima kasih babi hutan Gunung Tambora, atas kenang-kenangan yang kau berikan.

Leave a Reply